Selamat Datang di web resmi dari Sutiyoso wijanarko. Kami mengelola Pengobatan Alternatif Natural Ilmiah untuk membantu mengobati berbagai penyakit. Telp: (0274) 450066 dan (0274) 387563. Hp: 0811 250 781 dan 081 82 63402 Wa : 0857 9904 7033
Kamis, 27 Desember 2007
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang a. b. c. d. e. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus;
bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan;
bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; Mengingat Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN Menetapkan UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
Perlindungan Sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban.
Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan.
Pasal 2
(1). Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi : a. b. c. suami, isteri, dan anak; orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
(2). Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
BAB II ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas : a. penghormatan hak asasi manusia;b. c. d. keadilan dan kesetaraan gender; nondiskriminasi; dan perlindungan korban.
Pasal 4
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan : a. b. c. d. mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
BAB III LARANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : a. b. c. d. kekerasan fisik; kekerasan psikis; kekerasan seksual; atau penelantaran rumah tangga.
Pasal 6
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
Pasal 7
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Pasal 8
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi : a. b. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Pasal 9 .
(1). (2). Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
BAB IV HAK-HAK KORBAN
Pasal 10
Korban berhak mendapatkan : a. b. c. d. e. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan pelayanan bimbingan rohani.
BAB V KEWAJIBAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT
Pasal 11
Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 12
(1).Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pemerintah : a. b. c. d. merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga; menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; dan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender.
(2). (3). Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri. Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 13
Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya : a. b. c. d. penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian; penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani; pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.
Pasal 14
Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing, dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya.
Pasal 15
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk : a. b. c. d. mencegah berlangsungnya tindak pidana; memberikan perlindungan kepada korban; memberikan pertolongan darurat; dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
BAB VI PERLINDUNGAN
Pasal 16
(1). (2). (3).Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban. Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani. Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Pasal 17
Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban.
Pasal 18
Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan.
Pasal 19
Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 20
Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang : a. b. c. . identitas petugas untuk pengenalan kepada korban; kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan; dan kewajiban kepolisian untuk melindungi korban.
Pasal 21
(1). Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus : a. b. memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya; membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.
(2). Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
Pasal 22
(1) Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus : a. b. c. d. melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban; memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban.
(2). Pelayanan pekerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
Pasal 23
Dalam memberikan pelayanan, relawan pendamping dapat : a. b. c. d. menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping; mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman didampingi oleh pendamping; dan memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.
Pasal 24
Dalam memberikan pelayanan, pembimbing rohani harus memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban.
Pasal 25
Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib : a. b. c. memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan; mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.
Pasal 26
(1). (2). Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
Pasal 27
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 28
Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut.
Pasal 29
Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh : a. b. c. d. e. korban atau keluarga korban; teman korban; kepolisian; relawan pendamping; atau pembimbing rohani.
Pasal 30
(1). (2). (3). (4). Permohonan perintah perlindungan disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. Dalam hal permohonan diajukan secara lisan, panitera pengadilan negeri setempat wajib mencatat permohonan tersebut. Dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani maka korban harus memberikan persetujuannya. Dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban.
Pasal 31
(1). Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan untuk : a. menetapkan suatu kondisi khusus; b. mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlindungan.
(2). Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan bersama-sama dengan proses pengajuan perkara kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 32
(1). (2). (3). Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun.Perintah perlindungan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan. Permohonan perpanjangan Perintah Perlindungan diajukan 7 (tujuh) hari sebelum berakhir masa berlakunya.
Pasal 33
(1). Pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan perintah perlindungan.
(2). Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.
Pasal 34
(1). (2). Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan kondisi dalam perintah perlindungan. Dalam pemberian tambahan kondisi dalam perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.
Pasal 35
(1). (2). (3). Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas. Penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan surat perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam. Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 36
(1). (2). . Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah perlindungan. Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilanjutkan dengan penahanan yang disertai surat perintah penahanan dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.
Pasal 37
(1) (2) (3). Korban, kepolisian atau relawan pendamping dapat mengajukan laporan secara tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan. Dalam hal pengadilan mendapatkan laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam guna dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pengadilan di tempat pelaku pernah tinggal bersama korban pada waktu pelanggaran diduga terjadi.
Pasal 38
(1). Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah perlindungan dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka Pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan. Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30 hari. Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) disertai dengan surat perintah penahanan.
BAB VII PEMULIHAN KORBAN
Pasal 39
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari : a. b. c. d. tenaga kesehatan; pekerja sosial; relawan pendamping; dan/atau pembimbing rohani.
Pasal 40
(1) (2). Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya. Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.
Pasal 41
Pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani wajib memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling untuk menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi korban.
Pasal 42
Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja sama.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya pemulihan dan kerja sama diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII KETENTUAN PIDANA
Pasal 44
(1). (2). (3). (4). Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 45
(1). (2). Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 46 .
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 48
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang : a. b. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
Pasal 50
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa : a. b. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku; penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.
Pasal 51
Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan.
Pasal 52
Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan.
Pasal 53
Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan. BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 54
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Pasal 55
Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
BAB X KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 22 September 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 September 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANG KESOWO
Sabtu, 15 Desember 2007
Peraturan Wali Kota Yogyakarta Tahun 2006 yang memberi perawatan dan konseling kepada perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga - google
Peraturan Wali Kota Yogyakarta Tahun 2006 yang memberi perawatan dan konseling kepada perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga - google
Walikota Yogyakarta, kekerasan dalam rumah tangga - google
Kaum Lelaki Mulai Berdatangan Konsultasi ke Rifka Annisa - Peraturan Wali Kota
Kekerasan Rumah Tangga
Kaum Lelaki Mulai Berdatangan Konsultasi ke Rifka Annisa
Yogyakarta, Kompas - Tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang biasa menimpa perempuan, belakangan ini mulai direspons oleh kaum lelaki, yang dengan kesadarannya mendatangi Rifka Annisa, berkonsultasi. Gerakan bijak penyadaran kaum lelaki agar menjauhi kekerasan dalam rumah tangga ditandai dengan lahirnya Peraturan Wali Kota Yogyakarta Tahun 2006 yang memberi perawatan dan konseling kepada perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga.
Demikian antara lain poin yang mengemuka dalam kunjungan silaturahmi Rifka Annisa ke Kantor Kompas Biro DI Yogyakarta, Rabu (23/8). Kehadiran rombongan Rifka Annisa dipimpin oleh direkturnya, Elli Nur Hayati, dan diterima oleh Kepala Biro Kompas DI Yogyakarta Bambang Sigap Sumantri.
"Pelayanan perempuan korban kekerasan seperti itu tampaknya hanya terjadi di Yogyakarta, pemerintah menjamin perawatan di rumah sakit dan memberikan konsultasi gratis," kata Elli.
Penanganan kepada korban dilakukan simultan. Perawatan dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk, seperti RS Sardjito, Panti Rapih, dan Bethesda. Untuk konseling dilakukan dengan psikolog yang disediakan Rifka Annisa. Jika kekerasan dalam rumah tangga itu menjadi persoalan hukum, polisi dilibatkan untuk menangani perkaranya.
"Terkadang korban kekerasan merahasiakan kasusnya. Disiksa suami, tetapi mengaku jatuh dari tangga atau motor. Kepada korban semacam ini pihak psikolog akan memberikan bimbingan tentang hak-haknya sehingga kekerasan dalam rumah tangga tak terulang," tutur Elli.
Nur Hasyim, Manager Media Research Rifka Annisa, yang menyertai kunjungan, menyatakan kedatangan lelaki atau suami ke Rifka Annisa merupakan babak baru yang menyenangkan karena setidaknya lelaki telah merespons soal kekerasan dalam rumah tangga. "Belum banyak, paling baru 10 lelaki yang datang selama enam tahun terakhir. Namun, itu wujud mulai sadarnya kaum lelaki untuk bersama-sama menghindari kekerasan dalam rumah tangga", ujarnya.
Rifka Annisa juga membangun jaringan dengan membentuk basis komunitas. Dalam komunitas kelompok yang dibentuk di desa inilah, kekerasan dalam rumah tangga bisa dieliminasi karena dalam komunitas selalu berdiskusi, mencatat, mengingatkan bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga. "Bahkan, persoalan kekerasan di rumah tangga bisa juga diselesaikan dalam komunitas itu, tanpa harus bergerak lebih jauh," kata Helda Khasmy, Manager Divisi Pengorganisasian Masyarakat dan Advokasi Rifka Annisa. (TOP/SIG)
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a. b. c. d. e. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus; bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan; bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; Mengingat Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN Menetapkan UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
Perlindungan Sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban.
Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan.
Pasal 2
(1). Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi : a. b. c. suami, isteri, dan anak; orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
(2). Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
BAB II ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas : a. penghormatan hak asasi manusia;b. c. d. keadilan dan kesetaraan gender; nondiskriminasi; dan perlindungan korban.
Pasal 4
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan : a. b. c. d. mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
BAB III LARANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : a. b. c. d. kekerasan fisik; kekerasan psikis; kekerasan seksual; atau penelantaran rumah tangga.
Pasal 6
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
Pasal 7
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Pasal 8
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi : a. b. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Pasal 9 .
(1). (2). Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
BAB IV HAK-HAK KORBAN
Pasal 10
Korban berhak mendapatkan : a. b. c. d. e. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan pelayanan bimbingan rohani.
BAB V KEWAJIBAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT
Pasal 11
Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 12
(1).Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pemerintah : a. b. c. d. merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga; menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; dan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender.
(2). (3). Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri. Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 13
Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya : a. b. c. d. penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian; penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani; pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.
Pasal 14
Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing, dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya.
Pasal 15
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk : a. b. c. d. mencegah berlangsungnya tindak pidana; memberikan perlindungan kepada korban; memberikan pertolongan darurat; dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
BAB VI PERLINDUNGAN
Pasal 16
(1). (2). (3).Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban. Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani. Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Pasal 17
Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban.
Pasal 18
Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan.
Pasal 19
Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 20
Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang : a. b. c. . identitas petugas untuk pengenalan kepada korban; kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan; dan kewajiban kepolisian untuk melindungi korban.
Pasal 21
(1). Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus : a. b. memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya; membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.
(2). Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
Pasal 22
(1) Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus : a. b. c. d. melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban; memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban.
(2). Pelayanan pekerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
Pasal 23
Dalam memberikan pelayanan, relawan pendamping dapat : a. b. c. d. menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping; mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman didampingi oleh pendamping; dan memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.
Pasal 24
Dalam memberikan pelayanan, pembimbing rohani harus memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban.
Pasal 25
Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib : a. b. c. memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan; mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.
Pasal 26
(1). (2). Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
Pasal 27
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 28
Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut.
Pasal 29
Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh : a. b. c. d. e. korban atau keluarga korban; teman korban; kepolisian; relawan pendamping; atau pembimbing rohani.
Pasal 30
(1). (2). (3). (4). Permohonan perintah perlindungan disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. Dalam hal permohonan diajukan secara lisan, panitera pengadilan negeri setempat wajib mencatat permohonan tersebut. Dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani maka korban harus memberikan persetujuannya. Dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban.
Pasal 31
(1). Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan untuk : a. menetapkan suatu kondisi khusus; b. mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlindungan.
(2). Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan bersama-sama dengan proses pengajuan perkara kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 32
(1). (2). (3). Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun.Perintah perlindungan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan. Permohonan perpanjangan Perintah Perlindungan diajukan 7 (tujuh) hari sebelum berakhir masa berlakunya.
Pasal 33
(1). Pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan perintah perlindungan.
(2). Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.
Pasal 34
(1). (2). Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan kondisi dalam perintah perlindungan. Dalam pemberian tambahan kondisi dalam perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.
Pasal 35
(1). (2). (3). Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas. Penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan surat perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam. Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 36
(1). (2). . Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah perlindungan. Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilanjutkan dengan penahanan yang disertai surat perintah penahanan dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.
Pasal 37
(1) (2) (3). Korban, kepolisian atau relawan pendamping dapat mengajukan laporan secara tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan. Dalam hal pengadilan mendapatkan laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam guna dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pengadilan di tempat pelaku pernah tinggal bersama korban pada waktu pelanggaran diduga terjadi.
Pasal 38
(1). Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah perlindungan dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka Pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan. Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30 hari. Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) disertai dengan surat perintah penahanan.
BAB VII PEMULIHAN KORBAN
Pasal 39
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari : a. b. c. d. tenaga kesehatan; pekerja sosial; relawan pendamping; dan/atau pembimbing rohani.
Pasal 40
(1) (2). Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya. Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.
Pasal 41
Pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani wajib memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling untuk menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi korban.
Pasal 42
Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja sama.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya pemulihan dan kerja sama diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII KETENTUAN PIDANA
Pasal 44
(1). (2). (3). (4). Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 45
(1). (2). Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 46 .
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 48
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang : a. b. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
Pasal 50
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa : a. b. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku; penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.
Pasal 51
Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan.
Pasal 52
Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan.
Pasal 53 Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan. BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 54
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Pasal 55
Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
BAB X KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 22 September 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 September 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANG KESOWO
Jumat, 14 Desember 2007
Menunggu UU Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga
PADA tanggal 10 Mei lalu penulis sempat berkunjung di sebuah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Ende,
salah satu Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk sebuah penelitian. Dalam perbincangan dengan kepala
rumah sakit tersebut terungkap bahwa dalam setiap bulan petugas rumah sakit setidaknya menemukan satu pasien
perempuan yang mengalami tindak kekerasan dari suami.
Ungkapan kepala rumah sakit itu menunjukkan bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di daerah itu cukup
serius sekalipun tidak ditemukan data statistik resmi tentang kekerasan dalam rumah tangga di Kabupaten Ende.
Keseriusan persoalan KDRT di kawasan timur Indonesia itu jelas sama seriusnya dengan yang terjadi di kawasan lain di
Indonesia.
Seperti diungkap Komnas Perempuan dalam buku Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, berdasarkan
laporan Rifka Annisa Women’s Crisis Center di Yogyakarta dari tahun 1994 sampai 2001 tercatat 1.037 kasus kekerasan
terha- dap istri. Di Jakarta, berdasarkan laporan Solidaritas Aksi Korban Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan (Sikap)
dari tahun 1998 sampai 2000 tercatat 92 kasus KDRT.
Kenyataan itu menunjukkan, persoalan kekerasan dalam rumah tangga terjadi melintasi batas-batas ras, suku, agama.
Persoalan kekerasan dalam rumah tangga bukan dominasi masyarakat Jawa yang mayoritas muslim, tetapi juga
masyarakat non-Jawa dengan mayoritas nonmuslim. Hanya saja di daerah tertentu seperti Jawa kasus kekerasan dalam
rumah tangga terdokumentasi sementara daerah lain tidak terdokumentasi.
Persoalan ketidaktersediaan data statistik tentang kekerasan dalam rumah di banyak daerah di Indonesia seperti di Ende
dan mungkin di beberapa daerah lain disebabkan karena beberapa hal. Pertama, kekerasan dalam rumah tangga masih
dianggap sebagai persoalan privat. Anggapan ini tidak saja terjadi di kalangan masyarakat bawah, akan tetapi juga di
kalangan elite sekalipun. Bahkan dalam ruang rapat paripurna DPR pun masih muncul, seperti dilansir hukumonline.com.
Juru bicara salah satu partai menyebut persoalan rumah tangga adalah masalah privat. Akibat anggapan ini kasus
kekerasan dalam rumah tangga cenderung didiamkan karena menjadi aib setiap rumah tangga yang harus ditutup-tutupi.
Kedua, tidak ada lembaga yang memberi layanan langsung (misalnya, crisis center) yang memberi pendampingan
psikologis dan hukum untuk korban kekerasan dalam rumah tangga. Pengalaman di Yogyakarta menunjukkan, setelah
terbentuk Rifka Annisa Women’s Crisis Center yang memberi layanan untuk perempuan korban kekerasan, angka KDRT
terungkap sekalipun sebelumnya dinilai tidak ada bahkan cenderung ditolak.
Ketiga, tidak ada perlindungan hukum dari negara. Perlindungan hukum mencakup adanya aturan hukum yang jelas dan
aparat hukum yang profesional serta ganti rugi yang efektif bagi korban. Ketiadaan aturan hukum yang jelas sering kali
menjadi alasan keengganan aparat hukum untuk merespons laporan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Akibatnya,
kasus kekerasan dalam rumah tangga sering kali menjadi dark number.
Persoalan keterbatasan data statistik tentang KDRT di Indonesia, seperti disebutkan di atas, tidak serta merta
menggugurkan pentingnya undang undang antikekerasan dalam rumah tangga (selanjutnya disebut UU anti-KDRT) di
Indonesia apalagi menghambat proses legislasi yang sedang berlangsung di DPR saat ini. Faktor ketiadaan aturan
hukum (undang-undang) tentang KDRT menjadi salah satu penyebab kekerasan dalam rumah tangga menjadi kejahatan
tersembunyi.
UPAYA penghapusan KDRT di Indonesia menunjukkan perkembangan yang signifikan tahun ini meskipun tergolong
terlambat kalau dibanding dengan Malaysia yang telah sejak lama memiliki Domestic Violence Act serupa dengan undang-
undang anti-KDRT. Perkembangan penting itu muncul setelah Rapat Paripurna DPR pada tanggal 13 Mei 2003 lalu
memutuskan membahas RUU KDRT ke dalam Bamus DPR.
Peristiwa pembahasan RUU KDRT dalam rapat paripurna DPR itu bukan peristiwa yang tiba-tiba, akan tetapi merupakan
buah perjuangan berbagai kalangan yang peduli dengan masalah kekerasan terhadap perempuan yang tergabung dalam
Jangka PKTP atau Jaringan Kerja Advokasi Kebijakan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
Meskipun bermula dari desakan aktivis perempuan, selanjutnya menjadi penting untuk dipahami oleh berbagai kalangan
di negeri ini bahwa legislasi RUU anti-KDRT merupakan keharusan bagi Indonesia sebagai negara yang telah
meratifikasi beberapa konvensi internasional tentang perempuan dan bukan karena desakan aktivis perempuan.
Anggota DPR dan pemerintah harus memaklumi bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi CEDAW (Convention on the
Elimination of All forms of Discrimination against women) atau konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Sebagai konsekuensi dari ratifikasi ini Indonesia
harus melakukan:
1. Pembentukan hukum dan atau harmonisasi hukum sesuai kaidah hukum yang terdapat dalam konvensi tersebut.
Kewajiban ini dilakukan dengan mengkaji peraturan perundangan atau membuat perundangan baru berdasarkan
konvensi yang telah diratifikasi.
2. Penegakan hukum mengenai hak-hak perempuan melalui pengadilan nasional dan lembaga pemerintah lainnya.
Selain itu, anggota DPR dan pemerintah juga harus memahami bahwa legislasi UU anti-KDRT memiliki nilai strategis
bagi upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia serta memiliki nilai politis bagi partai-partai politik
di DPR saat ini.
NILAI strategis penghapusan kekerasan terhadap perempuan adalah pertama, dengan diundangkannya UU anti-KDRT
akan menggeser isu KDRT dari isu privat menjadi isu publik. Ketika isu ini telah menjadi isu publik hal itu diharapkan
dapat meruntuhkan hambatan psiko- logis korban untuk mengungkap kekerasan yang diderita dengan tanpa dihantui
perasaan bersalah karena telah membuka aib.
Kedua, UU KDRT akan memberi ruang kepada negara untuk melakukan intervensi terhadap kejahatan yang terjadi di
dalam rumah sehingga negara dapat melakukan perlindungan lebih optimal terhadap warga negara yang membutuhkan
perlindungan khusus (perempuan dan anak) dari tindak kekerasan.
Ketiga, UU KDRT akan berpengaruh pada percepatan perwujudan kebijakan toleransi nol kekerasan terhadap perempuan
yang digulirkan pemerintah beberapa tahun lalu.
Adapun nilai politis untuk partai-partai politik, proses legislasi RUU KDRT akan menjadi tolok ukur komitmen partai-partai
politik terhadap persoalan perempuan (selain persoalan kuota) yang akan dijadikan pertimbangan pemilih perempuan
pada pemilu yang akan datang.
Akhirnya hanya ada dua pilihan bagi anggota DPR, menjadi barisan orang yang menentang kekerasan dalam rumah
tangga atau barisan yang membiarkan kekerasan dalam rumah terus berlangsung.
Nur Hasyim Peneliti pada Rifka Anissa Research and Training Center Yogyakarta
Sumber: Kompas Cyber Media
Rabu, 12 Desember 2007
Global Warming - Yahoo
Global warming,pemanasan - yahoo
Dampak Pemanasan Global
Lingkungan VALENCIA, SENIN - Pemanasan global merupakan sesuatu yang tak terbantahkan lagi dan dapat menimbulkan dampak sangat mengerikan. Demikian salah satu pernyataan dalam laporan terakhir Panel PBB untuk Perubahan Iklim atau United Nations Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang diumumkan di Valencia, Sabtu (19/11). Sekretaris Jendral PBB Ban Ki Moon menantang pemerintah negara-negara di seluruh dunia untuk melakukan aksi nyata mengatasi ancaman tersebut. Ia mengajak para pengambil kebijakan untuk merespon temuan ini dalam konferensi perubahan iklim di Bali yang akan digelar awal Desember 2007. "Sangat mendesak, usaha global harus dilakukan," ujar Ban Ki-Moon, Sekretaris Jendral PBB. Ia berharap para pengambil kebijakan dari seluruh dunia dapat merespon temuan ini dalam konferensi perubahan iklim yang akan digelar di Bali mulai 3 Desember 2007. Mengerikan Laporan tersebut menyebut manusia sebagai biang utama pemanasan global. Emisi gas rumah kaca mengalami kenaikan 70 persen antara 1970 hingga 2004. Konsentrasi gas karbondioksida di atmosfer jauh lebih tinggi dari kandungan alaminya dalam 650 ribu tahun terakhir. Rata-rata temperatur global telah naik 1,3 derajat Fahrenheit (setara 0,72 derat Celcius) dalam 100 tahun terakhir. Muka air laut mengalami kenaikan rata-rata 0,175 centimeter setiap tahun sejak 1961. Sekitar 20 hingga 30 persen spesies tumbuh-tumbuhan dan hewan berisiko punah jika temperatur naik 2,7 derajat Fahrenheit (setara 1,5 derajat Celcius). Jika kenaikan temperatur mencapai 3 derajat Celcius, 40 hingga 70 persen spesies mungkin musnah. Meski negara-negara miskin yang akan merasakan dampak sangat buruk, perubahan iklim juga melanda negara maju. Pada 2020, 75 juta hingga 250 juta penduduk Afrika akan kekurangan sumber air, penduduk kota-kota besar di Asia akan berisiko terlanda banjir dan rob. Di Eropa, kepuanahan spesies akan ekstensif. sementara di Amerika Utara, gelombang panas makin lama dan menyengat sehingga perebutan sumber air akan semakin tinggi. Kondisi cuaca ektrim akan menjadi peristiwa rutin. Badai tropis akan lebih sering terjadi dan semakin besar intensitasnya. Gelombang panas dan hujan lebat akan melanda area yang lebih luas. Risiko terjadinya kebakaran hutan dan penyebaran penyakit meningkat. Sementara itu, kekeringan akan menurunkan produktivitas lahan dan kualitas air. Kenaikan muka air laut akan memicu banjir lebih luas, mengasinkan air tawar, dan menggerus kawasan pesisir.
Dampak Pemanasan Global Mengerikan
Sumber: AP
Penulis: Wah
Climate Change
A model approach to climate change
The Earth is warming up, with potentially disastrous consequences. Computer climate models based on physics are our best hope of predicting and managing climate change, as Adam Scaife, Chris Folland and John Mitchell explain
It is official: the Earth is getting hotter, and it is down to us. This month scientists from over 60 nations on the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) released the first part of their latest report on global warming. In the report the panel concludes that it is very likely that most of the 0.5 °C increase in global temperature over the last 50 years is due to man-made emissions of greenhouse gases. And the science suggests that much greater changes are in store: by 2100 anthropogenic global warming could be comparable to the warming of about 6 °C since the last ice age.
The consequences of global warming could be catastrophic. As the Earth continues to heat up, the frequency of floods and droughts is likely to increase, water supplies and ecosystems will be placed under threat, agricultural practices will have to be changed and millions of people may be displaced as the sea level rises. The global economy could also be severely affected. The recent Stern Review, which was commissioned by the UK government to assess the economic impact of climate change, warns that 5–20% of the world's gross domestic product could be lost unless large cuts in greenhouse-gas emissions are made soon. But how do we make predictions of climate change, and why should we trust them?
The climate is an enormously complex system, fuelled by solar energy and involving interactions between the atmosphere, land and oceans. Our best hope of understanding how the climate changes over time and how we may be affecting it lies in computer climate models developed over the past 50 years. Climate models are probably the most complex in all of science and have already proved their worth with startling success in simulating the past climate of the Earth. Although very much a multidisciplinary field, climate modelling is rooted in the physics of fluid mechanics and thermodynamics, and physicists worldwide are collaborating to improve these models by better representing physical processes in the climate system.
Not a new idea
Long before fears of climate change arose, scientists were aware that naturally occurring gases in the atmosphere warm the Earth by trapping the infrared radiation that it emits. Indeed, without this natural "greenhouse effect" – which keeps the Earth about 30 °C warmer than it would otherwise be – life may never have evolved. Mathematician and physicist Joseph Fourier was the first to describe the greenhouse effect in the early 19th century, and a few decades later John Tyndall realized that gases like carbon dioxide and water vapour are the principal causes, rather than the more abundant atmospheric constituents such as nitrogen and oxygen.
Carbon dioxide (CO2) gas is released when we burn fossil fuels, and the first person to quantify the effect that CO2 could have in enhancing the greenhouse effect was 19th-century Swedish chemist Svante Arrhenius. He calculated by hand that a doubling of CO2 in the atmosphere would ultimately lead to a 5–6 °C increase in global temperature – a figure remarkably close to current predictions. More detailed calculations in the late 1930s by British engineer Guy Callendar suggested a less dramatic warming of 2 °C, with a greater effect in the polar regions.
Meanwhile, at the turn of the 20th century, Norwegian meteorologist Vilhelm Bjerknes founded the science of weather forecasting. He noted that given detailed initial conditions and the relevant physical laws it should be possible to predict future weather conditions mathematically. Lewis Fry Richardson took up this challenge in the 1920s by using numerical techniques to solve the differential equations for fluid flow. Richardson's forecasts were highly inaccurate, but his methodology laid the foundations for the first computer models of the atmosphere developed in the 1950s. By the 1970s these models were more accurate than forecasters who relied on weather charts alone, and continued improvements since then mean that today three-day forecasts are as accurate as one-day forecasts were 20 years ago.
But given that weather forecasts are unreliable for more than a few days ahead, how can we hope to predict climate, say, tens or hundreds of years into the future? Part of the answer lies in climate being the average of weather conditions over time. We do not need to predict the exact sequence of weather in order to predict future climate, just as in thermodynamics we do not need to predict the path of every molecule to quantify the average properties of gases.
In the 1960s researchers based at the Geophysical Fluid Dynamics Laboratory in Princeton, US, built on weather-forecasting models to simulate the effect of anthropogenic CO2 emissions on the Earth's climate. Measurements by Charles Keeling at Mauna Loa, Hawaii, starting in 1957 had shown clear evidence that the concentration of CO2 in the atmosphere was increasing. The Princeton model predicted that doubling the amount of CO2 in the atmosphere would warm the troposphere – the lowest level of the atmosphere – but also cool the much higher stratosphere, while producing the greatest warming towards the poles, in agreement with Callendar's early calculations.
The nuts and bolts of a climate model
The climate system consists of five elements: the atmosphere; the ocean; the biosphere; the cryosphere (ice and snow) and the geosphere (rock and soil). These components interact on many different scales in both space and time, causing the climate to have a large natural variability; and human influences such as greenhouse-gas emissions add further complexity (figure 1). Predicting the climate at a certain time in the future thus depends on our ability to include as many of the key processes as possible in our climate models.
At the heart of climate models and weather forecasts lie the Navier–Stokes equations, a set of differential equations that allows us to model the dynamics of the atmosphere as a continuous, compressible fluid. By transforming the equations into a rotating frame of reference in spherical coordinates (the Earth), we arrive at the basic equations of motion for a "parcel" of air in each of the east– west, north–south and vertical directions. Additional equations describe the thermodynamic properties of the atmosphere (see figure 2).
Unfortunately, there is no known analytical solution to the Navier–Stokes equations; indeed, finding one is among the greatest challenges in mathematics. Instead, the equations are solved numerically on a 3D lattice of grid points that covers the globe. The spacing between these points dictates the resolution of the model, which is currently limited by available computing power to about 200 km in the horizontal direction and 1 km in the vertical, with finer vertical resolution near the Earth's surface. Much greater vertical than horizontal resolution is needed because most atmospheric and oceanic structures are shallow compared with their width. The Navier–Stokes equations allow climate modellers to calculate the physical parameters – temperature, humidity, wind speed and so on – at each grid point at a single moment based on their values some time earlier. The time interval or "timestep" used must be short enough to give solutions that are accurate and numerically stable; but the shorter the timestep, the more computer time is needed to run the model. Current climate models use timesteps of about 30 min, while the same basic models but with shorter timesteps and higher spatial resolution are used for weather forecasting.
However, some processes that influence our climate occur on smaller spatial or shorter temporal scales than the resolution of these models. For example, clouds can heat the atmosphere by releasing latent heat, and they also interact strongly with infrared and visible radiation. But most clouds are hundreds of times smaller than the typical computer-model resolution. If clouds were modelled incorrectly, climate simulations would be seriously in error.
Climate modellers deal with such sub-resolution processes using a technique called parametrization, whereby small-scale processes are represented by average values over one grid box that have been worked out using observations, theory and case studies from high-resolution models. Examples of cloud parametrization include "convective" schemes that describe the heavy tropical rainfall that dries the atmosphere through condensation and warms it through the release of latent heat; and "cloud" schemes that use the winds, temperatures and humidity calculated by the model to simulate the formation and decay of the clouds and their effect on radiation.
Parametrizing interactions in the climate system is a major part of climate-modelling research. For instance, the main external input into the Earth's climate is electromagnetic radiation from the Sun, so the way the radiation interacts with the atmosphere, ocean and land surface must be accurately described. Since this radiation is absorbed, emitted and scattered by non-uniform distributions of atmospheric gases such as water vapour, carbon dioxide and ozone, we need to work out the average concentration of different gases in a grid box and combine this with spectroscopic data for each gas. The overall heating rate calculated adds to the "source term" in the thermodynamic equation (see figure 2).
The topography of the Earth's surface, its frictional properties and its reflectivity also vary on scales smaller than the resolution of the model. These are important because they control the exchange of momentum, heat and moisture between the atmosphere and the Earth's surface. In order to calculate these exchanges and feed them into source terms in the momentum and thermodynamic equations, climate modellers have to parametrize atmospheric turbulence. Numerous other parametrization schemes are now being included and improved in state-of-the-art models, including sea ice, soil characteristics, atmospheric aerosols and atmospheric chemistry.
In addition to improving parametrizations, perhaps the biggest advance in climate modelling in the past 15 years has been to couple atmospheric models to dynamic models of the ocean. The ocean is crucial for climate because it controls the flux of water vapour and latent heat into the atmosphere, as well as storing large amounts of heat and CO2. In a coupled model, the ocean is fully simulated using the same equations that describe the motion of the atmosphere. This is in contrast to older "slab models" that represented the ocean as simply a stationary block of water that can exchange heat with the atmosphere. These models tended to overestimate how quickly the oceans warm as global temperature increases.
Forcings and feedbacks
The most urgent issue facing climate modellers today is the effect humans are having on the climate system. Parametrizing the interactions between the components of the climate system allows the models to simulate the large natural variability of the climate. But external factors or "radiative forcings" – which also include natural factors like the eruption of volcanoes or variations in solar activity – can have a dramatic effect on the radiation balance of the climate system.
The major anthropogenic forcing is the emission of CO2. The concentration of CO2 in the atmosphere has risen from 280 ppm to 380 ppm since the industrial revolution, and because it lasts for so long in the atmosphere (about a century) CO2 has a long-term effect on our climate.
While earlier models could tell us the eventual "equilibrium" warming due to, say, a doubling in CO2 concentration, they could not predict accurately how the temperature would change as a function of time. However, because coupled ocean–atmosphere models can simulate the slow warming of the oceans, they allow us to predict this "transient climate response". Crucially, these state-of-the-art models also allow us to input changing emissions over time to predict how the climate will vary as the anthropogenic forcing increases.
Carbon dioxide is not the only anthropogenic forcing. For example, in 1988 Jim Hansen at the Goddard Institute for Space Studies in the US and colleagues used a climate model to demonstrate the importance of other greenhouse gases such as methane, nitrous oxide and chlorofluorocarbons (CFCs), which are also separately implicated in depleting the ozone layer. Furthermore, in the 1980s sulphate aerosol particles in the troposphere produced by sulphur in fossil-fuel emissions were found to scatter visible light back into space and thus significantly cool the climate. This important effect was first included in a climate model in 1995 by one of the authors (JM) and colleagues at the Hadley Centre. Aerosols also have an indirect effect on climate by causing cloud droplets to become smaller and thus increasing the reflectivity and prolonging the lifetime of clouds. The latest models include these indirect effects, as well as those of natural volcanic aerosols, mineral dust particles and non-sulphate aerosols produced by burning fossil-fuels and biomass.
To make matters more complex, the effect of climate forcings can be amplified or reduced by a variety of feedback mechanisms. For example, as the ice sheets melt, the cooling effect they produce by reflecting radiation away from the Earth is reduced – a positive-feedback process known as the ice–albedo effect. Another important feedback process that has been included in models in the past few years involves the absorption and emission of greenhouse gases by the biosphere. In 2000 Peter Cox, then at the Hadley Centre, showed that global warming could lead to the death of vegetation in regions such as the Amazonian rainforests through reduced rainfall; as well as increased respiration from bacteria in the soil. Both will release additional CO2 to the atmosphere, leading, in turn, to further warming.
Improvements in computing power since the 1970s have been crucial in allowing additional processes to be included. Although current models typically contain a million lines of code, we can still simulate years of model time per day, allowing us to run simulations many times over with slightly different values of physical parameters (see for example www.climateprediction.net). This allows us to assess how sensitive the predictions of climate models are to uncertainties in these values. As computing power and model resolution increase still further, we will be able to resolve more processes explicitly, reducing the need for parametrization.
The accuracy of climate models can be assessed in a number of ways. One important test of a climate model is to simulate a stable "current climate" for thousands of years in the absence of forcings. Indeed, models can now produce climates with tiny changes in surface temperature per century but with year-on-year, seasonal and regional changes that mimic those observed. These include jet streams, trade winds, depressions and anticyclones that would be difficult for even the most experienced forecaster to distinguish from real weather, and even major year-on-year variations like the El NiƱo–Southern Oscillation.
Another crucial test for climate models is that they are able reproduce observed climate change in the past. In the mid-1990s Ben Santer at the Lawrence Livermore National Laboratory in the US and colleagues strengthened the argument that humans are influencing climate by showing that climate models successfully simulate the spatial pattern of 20th-century climate change only if they include anthropogenic effects. More recently, Peter Stott and co-workers at the Hadley Centre showed that this is also true for the temporal evolution of global temperature (see figure 3). Such results demonstrate the power of climate models in allowing us to add or remove forcings one by one to distinguish the effects humans are having on the climate.
Climate models can also be tested against very different climatic conditions further in the past, such as the last ice age about 9000 years ago and the Holocene warm period that followed it. As no instrumental data are available from this time, the models are tested against "proxy" indicators of temperature change, such as tree rings or ice cores. These data are not as reliable as modern-day measurements, but climate models have successfully reproduced phenomena inferred from the data, such as the southward advance of the Sahara desert over the last 9000 years.
Predicting the future
Having made our models and tested them against current and past climate data, what do they tell us about how the climate might change in years to come? First, we need to input a scenario of future emissions of greenhouse gases. Many different scenarios are used, based on estimates of economic and social factors, and this is one of the major sources of uncertainty in climate prediction. But even if greenhouse-gas emissions are substantially reduced, the long atmospheric lifetime of CO2 means that we cannot avoid further climate change due to CO2 already in the atmosphere.
Predictions vary between the different climate models developed worldwide, and due to the precise details of parametrizations within those models. Cloud parametrizations in particular contribute to the uncertainty because clouds can both cool the atmosphere through reflection or warm it by reduced radiative emissions. Such uncertainties led to a best estimate given in the third IPCC report in 2001 of global warming in the range 1.4–5.8 °C by 2100 compared with 1990.
Despite the uncertainties, however, all models show that the Earth will warm in the next century, with a consistent geographical pattern (figure 4). For example, positive feedback from the ice–albedo effect produces greater warming near the poles, particularly in the Arctic. Oceans, on the other hand, will warm more slowly than the land due to their large thermal inertia. Average rainfall is expected to increase because warmer air can hold a greater amount of water before becoming saturated. However, this extra capacity for atmospheric moisture will also allow more evaporation, drying of the soil and soaring temperatures in continental areas in summer.
Sea levels are predicted to rise by about 40 cm (with considerable uncertainty) by 2100 due largely to thermal expansion of the oceans and melting of land ice. This may seem like a small rise, but much of the human population live in coastal zones where they are particularly at risk from enhanced storm flooding – in Bangladesh, for example, many millions of people could be displaced. In the longer term, there are serious concerns over melting of the Greenland and West Antarctic ice sheets that could lead to much greater increases in sea level.
We still urgently need to improve the modelling and observation of many processes to refine climate predictions, especially on seasonal and regional scales. For example, hurricanes and typhoons are still not represented in many models and other phenomena such as the Gulf Stream are poorly understood due to lack of observations. We are therefore not confident of how hurricanes and other storms may change as a result of global warming, if at all, or how close we might be to a major slowing of the Gulf Stream.
Though they will be further refined, there are many reasons to trust the predictions of current climate models. Above all, they are based on established laws of physics and embody our best knowledge about the interactions and feedback mechanisms in the climate system. Over a period of a few days, models can forecast the weather skilfully; they also do a remarkable job of reproducing the current worldwide climate as well as the global mean temperature over the last century. They also simulate the dramatically different climates of the last ice age and the Holocene warm period, which were the result of forcings comparable in size to the anthropogenic forcing expected by the end of the 21st century.
Although there may be a few positive aspects to global warming – for instance high-latitude regions may experience extended growing seasons and new shipping routes are likely to be opened up in the Arctic as sea ice retreats – the great majority of impacts are likely to be negative. Hotter conditions are likely to stress many tropical forests and crops; while outside the tropics, events like the 2003 heatwave that led to the deaths of tens of thousands of Europeans are likely to be commonplace by 2050. This year is already predicted to be the hottest on record.
We are at a critical point in history where not only are we having a discernible effect on the Earth's climate, but we are also developing the capability to predict this effect. Climate prediction is one of the largest international programmes of scientific research ever undertaken and it led to the 1997 Kyoto Protocol set up by the United Nations to address greenhouse-gas emissions. Although the protocol has so far led to few changes in atmospheric greenhouse-gas concentrations, the landmark agreement paves the way for further emissions cuts. Better modelling of natural seasonal and regional climate variations are still needed to improve our estimates of the impacts of anthropogenic climate change. But we are already faced with a clear challenge: to use existing climate predictions wisely and develop responsible mitigation and adaptation policies to protect ourselves and the rest of the biosphere.
At a Glance: Climate modelling
- The scientific consensus is that the observed warming of the Earth during the past half-century is mostly due to human emissions of greenhouse gases
- Predicting climate change depends on sophisticated computer models developed over the past 50 years
- Climate models are based on the Navier–Stokes equations for fluid flow, which are solved numerically on a grid covering the globe
- These models have been very successful in simulating the past climate, giving researchers confidence in their predictions
- The most likely value for the global temperature increase by 2100 is in the range 1.4–5.8 °C, which could have catastrophic consequences
More about: Climate modelling
www.metoffice.gov.uk/research/hadleycentre
www.ipcc.ch
www.climateprediction.net
J T Houghton 2005 Climate Change: The Complete Briefing (Cambridge University Press)
K McGuffie and A Henderson-Sellers 2004 A Climate Modelling Primer (Wiley, New York)
About the author
Adam Scaife and Chris Folland are at the Hadley Centre for Climate Prediction and Research, Met Office, UK, and John Mitchell is chief scientist at the Met Office, UK
Multiply - Sutiyoso Wijanarko
Email: sutiyoso_wijanarko@yahoo.com
Sabtu, 08 Desember 2007
Email Sutiyoso Wijanarko
sutiyoso_wijanarko@yahoo.com
sutiyosowijanarko@gmail.com
Alternatif: Ramuannya Bisa Menumpas Kanker..!
Alternatif: Ramuannya Bisa Menumpas Kanker..!
Jakarta, Kamis
- Kanker timbul akibat pengaruh radikal bebas. Itulah yang diyakini Sutiyoso Wijanarko (41), penyembuh asal Ngasem, Yogyakarta. Menurutnya, radikal bebas bisa berasal dari polusi, asap rokok, maupun makanan yang diawetkan.
Di dalam benda terdapat elektron, yang seharusnya berpasangan. Bila tidak, elektron akan bereaksi. Reaksinya sendiri tidak beraturan dan bisa memakan senyawa lainnya dalam tubuh. Akibatnya atom dan molekul membakar sel di sekitarnya.
"Pembakaran inilah yang akhirnya menimbulkan kanker. Dari kanker menjadi implasi dan impluitasi. Tapi, biasanya dokter menangani sebatas implasi saja," ujarnya.
|
Untuk kasus kanker, teknik pengobatan yang dilakukannya cukup dengan memberikan ramuan tanaman obat. Secara empiris, ramuannya telah berhasil menyembuhkan berbagai jenis kanker maupun penyakit lain. Katanya, pada tahap pertama, pasien yang meminum ramuannya sudah akan merasakan reaksi penyembuhan.
Prosedur yang diterapkan oleh putra Soetijono Darsosentono, SH, seorang pengacara yang juga bisa mengobati penyakit tumor dan kanker ini, cukup dengan melihat hasil laboratorium lalu memberikan paket ramuan tanaman obat. Ia memberikan ramuannya secara berkala.
Misalnya saja, pada kasus kanker payudara yang baru-baru ini ditanganinya. Pada tanggal 20 Agustus 2002, pasien datang dengan membawa hasil laboratorium. Hasilnya menunjukkan kadar gula pasien mencapai angka 200. Padahal menurutnya, thyroglobulin (TG) normal antara 3 - 42.
Pasien itu, kemudian diterapi dengan ramuan dan rajin konsultasi. Hasil laboratorium pada tanggal 27 Desember 2002, TG-nya menunjukkan penurunan hingga 15. Benjolan di sekitar payudara pasien juga sudah hilang.
Baginya, hasil laboratorium sudah cukup jelas untuk memberikan langkah pengobatan selanjutnya. Untuk pasien yang berasal dari luar Pulau Jawa, bisa juga melakukan konsultasi jarak jauh, misalnya lewat telepon. Hanya saja, ia tetap meminta salinan hasil laboratorium. Setelah berkonsultasi dan menerima hasil laboratorium, baru ia mengirim ramuan ke alamat pasiennya.
Ramuannya bermacam-macam, ada yang harus dikonsumsi selama 40 hari bahkan hingga dua bulan untuk tahap pertama. Setelah, tahap pertama selesai, kondisi pasien akan dilihat kembali melalui hasil laboratorium. Bila dalam kasus kanker payudara misalnya, benjolan telah mengecil atau hilang pasien bisa menghentikan minum ramuan.
Rat-rata lama pengobatan yang dijalani pasien sekitar empat bulan. Walau demikian, bila ada pasien yang sudah sembuh tapi masih ingin minum ramuan, ia tidak melarang. Tinggal dikurangi saja dosisnya.
Sutiyoso menambahkan, hasil laboratorium sebenarnya merupakan rujukan atau fakta empiris bagi pasien dari kalangan terpelajar. Selama ini, pasiennya memang berasal dari berbagai macam golongan. Mereka yang berasal dari golongan terpelajar akan bertanya apakah betul ramuannya bisa mengobati penyakit kanker. Untuk orang desa biasanya mereka berprinsip yang penting sembuh. Jadi tidak perlu hasil laboratorium.
Komponen Ramuan
- Ramuan yang dibuat Sutiyoso terdiri dari berbagai macam komponen. Ada yang mengandung antioksidan ataupun antiinflamsi. Tentu saja, ramuan disesuaikan dengan kondisi pasein yang akan meminumnya.
Menurutnya, kondisi pasien bisa dibagi menjadi tiga, yakni normal, pasca operasi, atau sudah metastasis (penyebaran). Masih juga perlu diperhatikan kondisi pasien yang sedang menjalani kemoterapi atau yang sedang diradiasi.
Untuk sekali pembuatan, dibutuhkan 400 gram ramuan pokok ditambah sebungkus pelengkap dan suplemen antikanker. Ramuan pokoknya harus direbus dengan 25 gelas air hingga tersisa 16 gelas. Sisa rebusan itu, harus diminum empat kali sehari selama empat hari. Setiap kali minum, ditaburi ramuan pelengkap maupun suplemen. Bagi pasien diabetes dan hipertensi, ia hanya memberikan ramuan pokok, dan sedikit pelengkap saja.
Pasien dikenakan biaya sebesar Rp 50.000 untuk 10 bungkus ramuan pokok, dan Rp 190.000 untuk pelengkap dan suplemen. Biaya diatas untuk konsumsi selama 40 hari. Namun, biaya tersebut tidaklah mutlak bagi pasien kurang mampu. @ Hendra Priantono.
Alamat:
Sutiyoso Wijanarko
d.a Soetijono Darsosentono, SH
Jalan Ngasem 87, Yogyakarta
Telepon: 0274-512812
HP: 0818-263402, 0811-250781